Tugas Soft Skill Kesehatan Mental
KEKERASAN YANG TERJADI DALAM INSTANSI PENDIDIKAN
Rifsiana Putri S
2PA07/16512364
Universitas Gunadarma
2014
Latar Belakang
Seragam
adalah seperangkat pakaian yang biasanya dipakai sehari-hari sebagai penanda
sekelompok orang yang bernaung dibawah organisasi tertentu, atau instansi
tertentu. Seragam juga dapat menunjukan identitas profesi seseorang, misalnya
seragam polisi, dokter, koki, pilot, dan lain-lain. Dalam beberapa instansi
seragam juga bisa menunjukan pangkat atau jabatan seseorang. Dapat pula
dijelaskan seragam memberikan identitas sosial di masyarakat. Pemakaian seragam
di masyarakat memberikan tanggung jawab yang berbeda-beda bagi si pemakai
seragam.
Misalnya
pengguna seragam polisi, berarti orang tersebut berprofesi sebagai polisi yang
sudah seharusnya menjaga keamanan dan kedisiplinan, serta dapat mengayomi
masyarakat dengan baik. Contoh lain, di tempat yang sama namun dengan seragam
yang berbeda adalah dokter dan perawat. Dokter bertanggung jawab untuk menjawab
penyakita yang dikeluhkan pasien dan memberikan obat kepada pasien dan menindak
pasien lebih lanjut bila perlu. Berbeda dengan perawat, yang bertugas membantu
dokter serta merawat pasien di rumah sakit. Melalui contoh diatas seragam
secara langsung memberikan tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda pada
setiap pemakainya, begitu pula dengan perlakuan masyarakat terhadap orang yang
menggunakan seragam tersebut. Biasanya semakin tinggi pangkat pada seragamnya
maka akan lebih dihormati dari yang lain.
Di
beberapa instansi tertentu, untuk mendapatkan seragam membutuhkan waktu yang
cukup lama, selain itu juga membutuhkan pengorbanan secara fisik dan mental.
Karena cara mendapatkan seragam yang berbeda itulah, biasanya sang pemilik
seragam sangat menjaga “status” yang dapat ditunjukan melalui seragam tersebut.
Contohnya untuk mendapatkan seragam polisi seorang taruna harus menempuh
pendidikan panjang yang melibatkan fisik, kognitif, dan mentalnya.
Ada
banyak cara orang menunjukan status sosial dibalik seragam yang dikenakan.
Selain menunjukan status sosial, seragam juga dapat menunjukan profesi atau
pekerjaan yang digeluti. Misalnya, melaksakan tugas pelayanan masyarakat dengan
baik dan mengabdi pada negara (untuk
profesi polisi, dokter, perawat, pegawai negeri sipil, dan lain-lain). Kepada
masyarakat luas pemakaian seragam pada profesi yang berbeda-beda memberikan
kemudahan untuk mengetahui profesi masing-masing. Diharapkan kepada para
pemiliknya seragam dapat menjadi salah satu motivasi untuk bekerja lebih baik.
Namun,
penggunaan seragam sayangnya juga seringkali disalahgunakan oleh pemiliknya.
Banyak diantara kasus penyalahgunaan seragam adalah menimbulkan kekerasan pada
orang lain, atau tindak kriminal lainya. Penyalahgunaan tersebut biasanya
karena si pengguna seragam merasa lebih dari orang yang tidak memiliki seragam
yang sama. Keangkuhan yang ditunjukan biasanya datang dari si pemakai seragam
kepada pihak yang lebih lemah misalnya masyarakat sipil atau angkatan akademi
yang lebih muda.
Kasus
yang belum lama muncul adalah penyalahgunaan seragam siswa senior Sekolah
Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) kepada juniornya. Kasus kekerasan tersebut terjadi
karena sang senior merasa juniornya melakukan kesalahan dan berhak menghukum
juniornya tersebut dengan cara memukul dan melakukan tindak kekerasan lainya.
Kasus
kekerasan karena seragam lain adalah kekerasan guru terhadap murid. Alih-alih
mendidik, tak jarang guru melakukan kekerasan baik fisik maupun psikis sehingga
perhatian kepada murid di kelas juga tidak merata. Padahal murid di dalam kelas
berhak mendapatkan perhatian yang sama. Bukan hanya kepada murid yang paling
pintar atau murid yang paling kurang. Kekerasan yang dilakukan guru kepada
murid bukan merupakan hal yang mendidik, malah meninggalkan kesan yang buruk
kepada peserta didik.
Landasan Teori
Dalam
teori behaviorisme dari Ivan Pavlov bahwa perilaku muncul karena adanya proses
belajar melalui pengalaman di masa lalu yang melatarbelakangi. Perilaku yang
muncul akan semakin kuat ketika adanya pengulangan respon, serta penguatan
respon terhadap stimulus. Teori
behavorisme lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku
manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise
sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah
manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin
mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia.
Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap
lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Teori
lain, yaitu teori kognitif yang diungkapkan George Kelly, dijelaskan bahwa munculnya
perilaku manusia dipengaruhi oleh cara berfikirnya, terkait pula dengan proses
munculnya presepsi sebagai cara menilai suatu keadaan. Bieri
(1955), menerjemahkan kompleksitas/simplisitas kognitif sebagai dimensi
kepribadian, mendefinisikan sebagai pemrosesan informasi yang ada, yaitu
kompleksitas kognitif bisa didefinisikan sebagai kemampuan menerjemahkan
perilaku sosial sebagai multidimensional. Konstruk personal yang
dimiliki oleh manusia berisikan pengalaman dan pengetahuan tentang dunia yang
telah melalui proses kognitif dan membentuk sebuah kategorisasi, attribusi,
prediksi dan interpretasi pada setiap benda dan peristiwa yang ada di
sekitarnya. Sistem konstruk personal ini memberikan manusia kebebasan untuk
memutuskan dan membatasi tindakan, karena sistem tersebut mengizinkannya untuk
berhadapan dengan makna peristiwa, dan terbatas karena dia tidak akan pernah
bisa membuat pilihan diluar dunia alternative yang berasal dari dirinya sendiri
(Kelly, 1958, lm.58).
Dalam
salah satu teori defense mechanism yang dikemukakan Sigmund Freud, yaitu
rasionalisme dimana perilaku negatif yang dimunculkan, muncul karena adanya
alasan bagi individu yang menjelaskan mengapa perilaku tersebut dapat
dimunculkan. Perilaku rasionalisme dilakukan untuk mencari-cari alasan agar
perilaku salah yang dilakukan dapat diterima di lingkungan sosial.
Rasionalisasi juga muncul ketika individu berpura-pura menganggap yang buruk
adalah baik atau yang baik adalah buruk.
Pembahasan
Kekerasan di STIP
(Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran)
Kasus
penyalahgunaan seragam sebenarnya sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu kasus yang baru saja terjadi
adalah kasus pemukulan senior Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) terhadap
juniornya.
“Kasus pembunuhan para
senior atas mahasiswa yunior kembali terulang. Seorang mahasiswa semester satu
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Dimas Dikita Handoko, tewas
karena dianiaya para seniornya. Motif penganiayaan diduga karena Dimas dianggap
tidak respek terhadap para seniornya.
“Dugaan motif sementara penganiayaan
terhadap Dimas yakni pembinaan yang dilakukan taruna senior kepada taruna
yunior,” kata Kapolres Jakarta Utara Komisaris Besar Polisi Mohammad Iqbal di
Polrestra Jakarta Utara, Sabtu 26 April 2014.
Iqbal mengatakan, para
pelaku yang berjumlah tujuh orang ditegur oleh senior semester empat bila para
korban tidak memiliki respek terhadap mereka (senior). Dimas beserta
keenam temannya kemudian dipanggil ke kos para seniornya. Di sana mereka
dipukul di bagian dada, perut dan ulu hati….”
Pada
tanggal 25 April 2014 kembali terjadi kassus kekerasan di STIP (Sekolah Tinggi
Ilmu Pelayaran) dan kali ini hingga memakan korban jiwa. Korban bernama Dimas
yang dipukuli hingga hilang nyawa oleh tiga seniornya di sekolah tinggi
tersebut. Dimas dipukuli karena alasan tidak menghormati seniornya, dan sebagai
hukuman para senior itu lalu memukuli Dimas. Tiga senior Dimas berdalih ingin
memberi pelajaran pada juniornya tentang disiplin yang baik, namun malah
melewati batas dan nyawa Dimas harus melayang. Dimas dianiaya bersama
teman-temanya yang lain yang juga taruna STIP semester satu. Sayang setelah
pingsan di tempat kejadian nyawa Dimas tidak terselamatkan. Menurut hasil
autopsy Dimas mengalami pendarahan di otak karena pukulan benda tumpul.
Sekumpulan senior yang menganiaya Dimas telah ditangkap dan diperiksa pihak
yang berwajib.
Dalam
kasus diatas jelas terjadi penyalahgunaan seragam senior terhadap juniornya.
Sang senior merasa “berkuasa” atas juniornya sehingga bisa melakukan apapun
yang diingkinkan. Kasus penganiayaan ini biasanya terjadi secara turun-temurun
dari angakatan atas kepada angakatan bawah terutama pada murid-murid baru.
Karena sudah pernah pula dianiaya oleh senior sebelumnya maka senior Dimas
merasa hal tersebut merupakan sebuah budaya dan membalaskan “dendam” kepada
juniornya yaitu Dimas dan kawan-kawanya.
Sang
senior belajar dari pengalaman yang telah diterima di masa juniornya. Tradisi
kekerasan yang sudah turun-temurun membuat para senior belajar bahwa ketika
mereka telah menjadi senior, mereka dapat membalaskan “dendam” kepada
junironya. Tradisi kekerasan tersebut sudah berlangsung lama sebagai alasan
untuk mendisiplinkan junior di sekolah tersebut. Ketika stimulus muncul
(kesalahan yang dilakukan junior) maka akan disusul dengan respon (kekerasan
yang dilakukan senior) karena senior tersebut sebelumnya sudah mengalami hal
yang sama dilakukan kepada dirinya. Penjelasan diatas sesuai dengan teori
behaviorisme yang dikemukakan Sigmund Freud, karena para senior telah belajar
dari pengalaman mereka yang terlebih dahulu telah mendapat perlakuan kekerasan
dari senior terdahulu sehingga memperlakukan juniornya juga dengan kekerasan.
Pengalaman yang letah dipelajari tersebut menjadi sebuah efek domino di Sekolah
Tinggi tersebut karena telah menjadi tradisi dan budaya di dalam instansi
pendidikan tersebut.
Seragam yang memberikan tanda status
lebih tinggi pada senior membentuk cara berfikirnya. Keadaan tersebut membentuk
construct dalam diri sang senior
ketika berusaha menginterpretasikan pengalaman-pengalaman personal yang pernah
dialaminya. Seragam yang “memfasilitasi” keadaan senior untuk menjadi lebih
berkuasa terhadap juniornya membuat presepsi senior terhadap juniornya semakin merasa
berkuasa. Kekerasan yang dilakukan sangat mungkin semakin buruk namun membuat
si pelaku merasa semakin jagoan. Perasaan
menjadi jagoan itu membuat para
senior membenarkan tindakan salah yang dilakukanya. Perilaku ini dapat
dijelaskan melalui teori defense mechanism yaitu rasionalisme. Ketika perilaku
memukul dianggap benar oleh senior dan junior tidak dapat melawan maka perilaku
ini akan terus dilakukan dan sangat mungkin menjadi sebuah tradisi yang turun
temurun jika tidak ada yang memberhentikan atau menindak secara tegas.
Kekerasan
Guru Terhadap Siswa
Guru seharusnya menjadi pendidik
generasi muda untuk menggenggam bekal masa depan. Banyak metode yang dilakukan
para guru khususnya di era modern ini untuk memberikan pendidikan kepada
siswa/siswi agar lebih mudah diserap dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain pelajaran di sekolah guru juga dapat bermanfaat menjadi media pengajar
etika dan moral dalam kehidupan. Misalnya dengan memberikan contoh sopan santun
dan saling menyayangi yang baik di sekolah. Pendidikan etika akan sangat
bermanfaat tidak hanya sebagai modal dalam pekerjaan namun juga dalam kehidupan
sehari-hari.
Namun sangat disayangkan masih ada
guru yang menggunakan cara sangat tradisional atau bisa dikatakan kuno dalam
memberikan pelajaran terhadap murid. Misalnya ketika murid melakukan kesalahan
guru malah memukul atau mengeluarkan kata-kata kasar yang dapat menyakiti
murid. Perbuatan memukul dan berkata kasar justru dapat membawa dampak negative
kepada murid-murid yang menjadi korban.
Dikutip
dari detik.com:
“Surabaya
- Siswa SMP Kemala Bhayangkari I bernama Russell Varcas (13) harus menjalani
visum pasca diadu kepalanya oleh guru matematika. Komnas HAM menilai, dengan
alasan apapun, guru tersebut sudah kelewat batas.
Ketua Komisi Pemantauan dan Penyelidikan
Komnas HAM, Siane Indriani menyesalkan kejadian ini. Menurutnya, guru
Matematika bernama Imam Haryadi yang melakukan kekerasan terhadap Russell tidak
layak menjadi guru.
"Dengan alasan apapun, perbuatan
kekerasan itu sudah kelewat batas, apalagi itu dilakukan oleh guru," kata
Siane Indriani saat dihubungi detikcom, Senin (13/5/2013).
Lebih baik, guru tersebut dipindah ke
bagian administrasi, lanjut Siane.
"Dengan kasus seperti yang terjadi
pada Russell, guru sebenarnya bisa memberikan sanksi seperti pemberian
tugas-tugas sekolah, bukan dengan kekerasan," kata Siane lagi….”
Bapak
guru Imam dengan sengaja memukul kepala muridnya Russell 13 tahun karena
melakukan kesalahan di kelas. Kejadian tersebut terjadi di salah satu SMP di
Surabaya tempat Russell bersekolah dan saat itu sedang pelajaran matematika.
Bapak Imam memukul kepala mmuridnya tersebut hingga luka lebam dengan alasan
memberikan hukuman. Hukuman seharusnya bisa diberika dalam bentuk lain,
misalnya tugas tambahan namun Bapak Imam lebih memilih untuk memukul muridnya tersebut.
Kekerasan yang terjadi terhadap
murid memberikan dampak yang buruk baik secara fisik maupun psikis. Kekerasan
yang dilakukan guru tersebut sesuai dengan salah satu teori defense mechanism
yang dikemukakan Sigmund Freud. Ada kelemahan-kelemahan yang mungkin ingin
ditutupi sang guru kepada muridnya, sehingga berujung melakukan kekerasan.
Perasaan yang “lebih” dari sang guru terhadap murid juga dapat melatarbelakangi
kasus kekerasan tersebut. Seragam sebagai sesuatu yang memperlihatkan profesi
sebagai seorang guru membuat presepsi guru terhadap murid berubah. Guru merasa
lebih berkuasa terhadap murid di sekolah, serta pekerjaan sebagai pendidik
membuat guru merasa dapat melakukan apa saja untuk mendidik para murid,
akibatnya perbuatan memukul murid menjadi hal yang lumrah sebagai alasan
mendidik murid agar lebih disiplin.
Pola pikir guru Imam yang belum
berubah seiring berkembangnya zaman dan pengalaman yang pernah diterimanya
dapat menjadi salah satu faktor pemicu munculnya perilaku kekerasan yang
dilakukan seperti yang dijelaskan dalan teori kognitif. Hasil konstruk yang ada
pada pemikiran guru Imam mengizinkan anggota badanya untuk dapat melakukan
kekerasan kepada muridnya. Terlebih posisinya yang saat itu menjadi seorang
guru membuat posisi murid “lemah” dan tidak dapat melawan kehendak gurunya.
Sebagai mekanisme pertahanan diri alasan mendidik digunakan untuk dapat
membenarkan tindakan yang dilakukan guru Imam, padahal guru itu menyadari bahwa
memukul merupakan tindak kekerasan.
Sebagai tenaga pendidik guru
sebaiknya dapat memberi contoh yang baik kepada para murid, sehingga murid
tidak hanya belajar pelajaran di sekolah, namun juga dapat belajar etika yang
dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti teori belajar yang
dikemukakan Pavlov, maka semakin terbiasa murid dengan sifat-sifat dan perilaku
yang baik maka murid juga akan beperilaku baik dan menghormati guru.
Kesimpulan
Beberapa hal dapat melatarbelakangi
munculnya suatu perilaku. Melalui cara berfikir, pengalaman, dll. Hal-hal
tersebut saling berhubungan, sehingga menciptakan presepsi seseorang terhadap
orang lain. Keadaan individu yang merasa berkuasa dari orang lain yang
dihadapinya juga dapat merubah presepsi dan mempengaruhi perilaku.
Penggunaan seragam sebagai
indentitas profesi seseorang membentuk rasa percaya diri yang lebih. Penggunaan
seragam memberikan status dan perlakuan
yang berbeda-beda dalama masyarakat. Seragam yang dikenakan dapat pula
membentuk presepsi yang berbeda terhadap orang lain, terlebih ada pula
orang-orang yang menggunakan seragam tertentu lalu dirinya menganggap orang
lain lebih lemah darinya. Sehingga penggunaan seragam yang seperti itu dapat
disalahgunakan untuk menyalurkan rasa ”kekuasaan” namun dalam bentuk kekerasan
yang negatif.
Jika dibiarkan tanpa tindakan yang
tegas penyalahgunaan seragam kepada masyarakat sipil atau kaum yang lebih lemah
dapat menjadi kasus yang berkelanjutan dan turun-temurun. Sebaiknya ada
pengawas yang dapat memberika solusi cepat ketika ada kejadian penyalahgunaan
seragam yang terulang, terutama seragam aparat negara dan pegawai negeri.
Saran
Peraturan yang diterapkan di sekolah
bisa lebih tegas agar dapat menindak lanjuti kasus kekerasan yg terjadi dalam
sekolah. Peraturan yang tegas tidak hanya diberikan untuk para murid namun juga
bagi para guru. Pemberian sanksi yang tegas dapat memberikan efek jera bagi
guru yang melakukan kekerasan di dalam sekolah, misalnya dengan dikeluarkan
secara tidak hormat.
Penyuluhan dan pelatihan tentang
dampak kekerasan baik fisik maupun mental juga dapat diberikan pihak sekolah
kepada guru untuk menambah pengetahuan dan informasi terkait kekerasan di dalam
sekolah.
Efianingrum, Ariefa. (2009) Mengurangi Akar Kekerasan (Bullyin)g di
Sekolah. FIP, Univeritas Negeri Yogyakarta.
Novianti, Ida. (2008) Fenomena Kekerasan di Lingkungan Pendidikan.
No. 2. Vol.13. STAIN Purwokerto.
Simbolon, Mangadar. (2012) Perilaku Bullying Pada Mahasiswa Berasrama. No.
2. Vol. 39. Universitas Indonesia Advent, Bandung.
Saptarini, Yustina. (2009) Kekerasan Dalam Lembaga Pendidikan Formal
(Studi Mengenai Kekerasan Oleh Guru Terhadap Siswa Sekolah Dasar di Surakarta).
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Basuki, Heru A.M. (2008) Psikologi Umum. Jakarta: Universitas
Gunadarma
Comments
Post a Comment