Dialog Sunyi


Terlalu banyak dialog sunyi yang kubuat bersama diriku sendiri. Hingga tenggelam dalam pertanyaan yang jawabanya menguap pergi tanpa arah. Pun maka aku tak tahu harus mencari kemana. Diantara ambang muak tentang bualan-bualan mereka, aku merasa aman dalam kesendirian. Muka-muka yang dulu begitu manis, hati yang kukira begitu tulus, begitu saja sirna. Dulu aku mengais peluk hangat, sedetik saja, tidak lebih. Mereka piker itu berlebih. Kini gelap. Tanpa harap, sepertinya memang aku sudah tidak pantas lagi memilih harap sebagai teman hidup. Terlalu banyak dari harap-harap itu redup lalu hilang sinarnya. Tangisku sendiri yang tampaknya membuat lilin-lilin harap itu mati, mungkin sejak dulu mereka sudah seharusnya mati. Dan setiap mereka yang baru, I feel sorry to myself maybe its just me. Its too hard to see any hope again.



And so I decided to write again, mungkin karna udah gatau lagi harus gimana. Terlalu banyak pertanyaan yang akhirnya cuma berputar di kepala. Kenapa nggak ditanya langsung? Jawabanya, sudah pernah dan hasilnya nihil. Memang kalo ditulis bingung juga harus mulai darimana, benar kata seorang teman yang bilang udah terlalu banyak yang gue simpan. Bagai sampah-sampah yang numpuk, gue pun udah gatau lagi gimana cara memilah-milah isi otak dan hati yang bercampur aduk jadi satu. Dulu yang entah dulunya kapan –rasanya udah lama banget- niat nggak pengen ngeluh. Dari ngeliat orang lain yang punya lebih bayak masalah dan lebih struggle dalam hidup, sampai ngeliat orang tua sendiri yang sibuk gak kenal hari libur. Rasanya nggak pantes banget gue yang sangat bukan siapa-siapa ini ngeluh. Begitu banyak yang ingin dikeluhkan, tapi terlalu banyak juga bukan pilihan yang baik. Gue sendiri merasa begitu takut untuk meledak, atau sekedar melelehkan sedikit demi sedikit yang ada di dalam. Pengalaman mungkin yang mengajarkan gue untuk nggak begitu aja percaya sama orang, tapi mirisnya sekarang gue pun merasa gak bisa percaya siapa-siapa lagi. In the back of my head seperti selalu ada yang berbisik “"hati-hati nanti yang dulu terulang lagi, perhatikan apa yang kamu bicarakan sama dia" 
yes, looking back in time terlalu banyak yang sudah meluas, serasa ingin diserap kembali sampai tidak ada orang yang tahu. Tapi apa daya? Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang yang ada cuma siapapun orangnya sangat amat sulit buat gue untuk percaya, sulit sampai mulut ini begitu berat kalo mau cerita ke orang. Gak pernah ada yang tau suatu cerita sampai bener-bener ke akarnya. Semuanya gue simpan rapi, dalam, tertutup. Ada satu yang gue sadari dari setiap cerita yang ditutup, hati ini akan makin bertambah berat, dan kembali lagi tapi apa daya?

Rasanya sulit mencari hati yang benar-benar ingin mendengar, peluk yang benar-benar ingin menghangatkan, dan raga yang benar-benar ingin membantu. Jadi gue lebih memilih untuk melakukan apa yang gue harap bisa gue dapat dari orang lain itu, untuk orang lain. Akan lebih mudah dilakukan, dan rasanya memang sedikit mengobati. Ada yang begitu menyejukkan dari mendengarkan dan menghilangkan keluh kesah orang lain, ada yang begitu terobati dari menolong orang lain, ada luka yang sepertinya tertutup dari memberi peluk hangat untuk orang lain. Saat itu gue berharap waktu bisa berhenti, gue merasa punya teman.
Miris gue cuma mengharap aka nada orang yang bener-bener mau meluk, dan bisa gue tangisi sampai sesenggukan dan sampai gue berhenti. Mungkin besok, mungkin nanti, mungkin masih lama, mungkin nggak akan pernah.
Post ini memang terlalu kekanakan, terlalu putus asa atau bahkan terlalu munafik untuk dibaca. Gak peduli apa kata orang, kadang memang apa yang gue tulis lebih mengerti gue daripada orang yang membaca ini. Aksara begitu kuat, mereka mengerti tanpa harus dipaksa, mereka mengobati tanpa harus dibayar, kata-kata ini menjadi satu-satunya harapan. Pengertian.

Comments