The Lifestyle (we wish) We Live in

Gue selalu percaya apa yang terjadi di dunia ini selalu udah diatur sama Yang Punya semesta. Sampai gugurnya daun di pinggir jalan pun gue percaya Tuhan selalu tau itu. Kenapa bisa se-percaya itu karena 2 tahun ini Tuhan bener-bener buka mata gue that literally everything is in His hands. Sesederhana gue nolak ajakan temen buat hang out karena gue terlalu malas bangkit dari tempat tidur, dan bener aja hari itu ternyata hujan deras seharian sampai yang terakhir mengiyakan ajakan salah satu sahabat untuk ikutan workshop skoring alat tes, dan setelah selesai kita sama-sama males pulang dan memutuskan untuk cari makan dulu di salah satu mall sekalian sight seeing and ending up kejebak hujan super deras dan menyebabkan kita pulang malem banget tapi justru karena si hujan itu I finally could talk to my bestfriend atas segala kegundahan gue ke dia dan so did she in return. I gotta admit ada rasa lega setelah deep talk itu, walaupun karena sesederhana kejebak hujan.

Baru kemarin banget menemani nyokap reunian di rumah teman SMA nya, lalu gak tau gimana para ibu-ibu itu bahas soal kopi. Which nyokap nyeletuk "Itu anakku yang suka kopi, kalo aku sih nggak. Tapi menurutku ya itu karena lifestyle aja sih karna sering ngopi sama temen-temenya. Bilangnya cari suasana baru tapi kan sebenenrya pengen ngobrol yang nggak dirumah aja" Detik itu juga gue memikirkan ulang atas kegilaan gue soal kopi, the needs of morning coffee I had these past year, apakah the so called morning coffee beneran kebutuhan badan gue atau sebuah kebiasaan yang gue ciptakan tanpa sengaja? Dan kalau belum ngopi I have no energy through the day, jadi gue sering banget ngajak temen-temen ngopi. Kemana orang dengan alasan "pengen ngopi" pergi di Jakarta ini? Yal jawaban termudah adalah Starbucks, and yes I am writing this blogpost saat sedang duduk di Starbucks. So cliche right? Hahahaha

Oke jadi tujuan gue ngobrolin soal aturan Yang Punya semesta, omongan nyokap saat reuni, kopi, dan lifestyle adalah apa yang baru saja terjadi di depan mata gue. You know how something so simple and so fast happened in front of your eyes and trigger you to just think about everything. Yes thats how my brain works. Suka kejauhan emang mikirnya tapi, aku bersyukur suka pinter juga otak ini kadang-kadang.

So what just happened is ada anak muda tanggung maybe SMA masuk ke dalam Starbucks melalui pintu luar Mall yang langsung direct ke dalam Starbucksnya. Gue awalnya gak memperhatikan si anak muda tanggung ini masuk soalnya lagi baca-baca jurnal penelitian. Terus gak tau kenapa mata gue digerakkan semesta untuk ngeliat anak ini. And you know what he did? Dia masuk dengan posisi tangan pegang handphone yang keliatan banget lagi merekan sesuatu, because he looked directly to his phone screen. Gue kira dia lagi video call saudara-saudara tapi gue salah. Setelah dia jalan ke bar Starbuck tempat mbak-mbak barista siap menerima pesanan, gue bisa lihat dengan jelas dia lagi record video untuk instagram story nya, terus tulis caption, dan dia cabut gitu aja dari bar tempat pesen minum dengan mbak-mbak Starbucks yang bingung kenapa remaja tanggung itu gak jadi pesen minuman. Sad. Thats the only thing I cam describe about that scene. Bukan karena mbak-mbak Sbux (capek nulis Starbucks jadi mari kita singkat aja yes) gak jadi menerima pesanan which mengurangi pelanggan hari ini. Tapi sedih karena remaja tanggung itu rela memutuskan urat malu untuk masuk Sbux, update di akun media sosial nya, (I think) to show his follower that he consume what we so called kopi mahal. Miris, ngeliat betapa orang apalagi anak muda rela "menjadi berduit" dengan cara apapun. You know what he did was pure lies to his follower. Orang rela berbohong demi menciptakan image yag dia mau tentang dirinya di media sosial. (eh gimana sih kalimatnya, ya gitu deh you get what I mean right)

That moment also makes me reflect what my mom said yesterday. Betapa kita membuat lifestyle sebagai bagian hidup yang sebenernya gak perlu-perlu banget dipenuhi tapi seakan jadi kebutuhan karena udah keseringan dilakukan atau punya tujuan tertentu untuk melakukanya, supaya terlihat "wah" misalnya. Gue sebagai sarjana yang masih menerima uang dari orangtua ini jadi berfikir apakah lifestyle yang gue "ciptakan" dengan teman-teman gue ini bener-bener mampu gue affod atau I pretend I could afford it. You know, ada aja orang yang dengan lifestyle ini lalu di akhir bulan tiba-tiba gak punya uang sama sekali sampe rela gak makan yang penting bisa ngumpul sama temen-temenya di tempat famous.

You see the point where gue mikirnya kejauhan kan? Hahahaha, tapi emang bener gak sih kita kadang hidup dalam taraf yang kita harapkan padahal kita belum berada pada taraf itu. Apakah mustahil mecapai taraf itu? Absolutely not. Tapi ketika hati kecil kita tau kita belum sampai disana, why do we push ourself to get there? Hanya untuk terlihat seperti yang kita mau. Think again.


Comments