FOMO

Sad, I know... setelah berapa lama blog ini aku abaikan huhuhu padahal di dua post terakhir bilangnya mau lebih rajin nulis. Oh well.. aku emang kadang se-omdo itu and I'm sorry about that.

So for the last couple of months I've been thinking about this new habit that most of us have right now. Its this habit where we constantly feel the need to check on our social media account, whats new, whats trending, whats currently viral. Sampai akhirnya rasanya kalo belum cek whats new kaya ada yang kurang, bagai sayur tanpa garam, makan ayam bakar tanpa sambel.
This fear of missing out (FOMO) has somehow feed our ego and create such an alternate reality either for us or for others. I feel like its also the root of hoax and how hoax really grow fast like an endemic virus.

Dari yang gue amati ada beberapa fase yang biasanya dilewati sampe ke tahan FOMO ini. Pertama, ikut trend yang akhirnya menjadi sebuah kebutuhan dimana kalo kita nggak punya akun sosial media we know nothing about the world. Gampang aja, gue sekarang udah jaraaaaang banget nonton TV untuk update berita terbaru dan lebih memilih platform lain untuk update berita either its about the economy, politic, lifestyle, or just simply whats going on with the world. Sekarang dengan sosial media semua lebih mudah, its all in the tip of our thumb. Tinggal klik, mau baca berita macam apa sekarang semua ada, mau via instagram, facebook, twitter, dan LINE yang tadinya adalah sebuah platform messenger fungsinya udah agak bergeser juga jadi penyedia berita. Sayangnya, di awal kita buat semua platform ini, we don't realize the danger behind all of it that leads me to the second stage.
Kedua, setelah punya beberapa akun sosial media itu kita si pemilik merasa penasaran itu platform isinya apa, jadilah sekali dua kali kita cek. And then we follow certain people start from friends, family, sampai ke orang-orang yang kita nggak kenal tapi kita rasa perlu untuk di follow (yang sampe sekarang muncul lah istilah selebtwit dan selebgram) yang biasanya diantaranya adalah orang-orang yang suka menyuarakan ide, opini, hobi, sampai personal life mereka lebih heboh dari orang biasanya. Well, I know sharing is caring tapi sekarang sharingnya jadi melebar ke urusan orang lain juga di share dan muncul lah akun lambe-lambean yang ngurusin hidup orang lain yang membuat kita jauh lebih penasaran dan merasa perlu tau tentang mereka yang sama sekali nggak kita kenal ini. Which connect to the third stage
Ketiga, akhirnya akun selebtwit, selebgram, dan perlambean ini banyak yang follow kemudia apa yang mereka share di akunnya menjadi bahan pembicaraan kita in real life. Buat bahan obrolan aja, katanya. Di lingkup manapun gue pasti mendapati ada aja teman, kolega, atau keluarga yang ngomongin konten yang di share sama akun-akun tersebut (kadang suka mikir juga sih, ini jangan-jangan peer gue yang gak berkualitas hehe) jadi kalo gue atau orang lain nggak follow akun itu juga hambar lah pembicaraan, jadinya nggak nyambung, ga punya bahan obrolan, and so many other reasons. Tapi somehow we forget that those gossips (or even if those are facts) are none of our business, jadi kaya ngga ada bahan obrolan yang lebih penting aja gitu. Padahal kalo dipikir lagi we spent our time reading about people's bad stories, talk about it, kemudian jadinya nyinyir aja. Do we feel good above those negativity? Oh my god, we somehow are such a shame.
I feel like this fear feed our ego, cuma karna gamau dibilang kurang update kita jadi follow akun-akun yang sebenernya ngga ada pengaruhnya juga dalam hidup. We invite toxic to our life consciously (kurang menyedihkan apa coba tuh?). Tanpa sadar jadinya cuma ngomongin orang, jelek-jelekin orang (padahal belum tentu orang itu beneran buruk, maybe they just don't fit our standard but hey who are we to judge right?)
Terus biasanya kalo udah nyinyir atau ngomong jelek pasti ada bumbu-bumbu yang ditambahin, as if we cook something for us to consume together. Bumbu-bumbu yang belum tentu benar itu juga pada akhirnya suka membuat kita bikin alternate reality sendiri, dimana kita percaya sesuatu benar-benar terjadi padahal nggak. Gila ya, awal ceritanya aja kita nggak bener-bener tau tapi kita juga yang bikin bumbunya. Apalagi biasanya isi caption atau isi thread dari berita itu selalu bikin makin panas. I just don't get where minceu-minceu itu bisa punya ide bikin caption "seindah" itu sampe bisa narik orang untuk komentar dan nyinyir berjamaah.
This fear of missing out. Ketakutan tentang ketidaktahuan kita soal cerita hidup orang lain yang sebenernya sama sekali bukan urusan kita. I just don't get why. Ada satu kejadian yang bikin gue bener-bener speechless, pernah muncul satu foto di explore instagram yang isinya foto artis lengkap dengan screen shoot komentar pedas netizen yang isinya netizen ini sampe ngitungin hari pernikahan artis dan mempertanyakan kenapa si artis hamilnya cepet banget gak ada jeda sebulan dari nikah, kemudian dia nuduh si artis ini hamil di luar nikah karna netizen ini punya kepercayaanya sendiri dimana sperma akan disimpan kurang-lebih dua bulan sampai akhirnya mampu membuahi sel telur. I mean, WTF?! That alternate reality plus an uneducated social media user plus a platform where everyone can type comment is one huge mess. Pertama ngapain juga orang udah nikah terus hamil malah dipertanyakan, kedua kenapa ada aja orang yang pede banget sama ke-sotoy-an nya sendiri?! Sedih akutuh.... 

Nah gue sebenernya adalah salah satu orang yang follow akun lambe-lambe itu, cuma beberapa bulan ini gue mulai gerah sama isi beritanya yang nggak penting. Sampe gue udah nggak tau lagi sebenernya siapa yang lagi diomongin sama akun itu. Kemudian gue memutuskan untuk unfollow aja. You know, mungkin nggak ada perubahan signifikan ya but I must say it has a positive impact. Gue merasa nggak lagi penasaran soal kehidupan orang lain yang gue sendiri nggak kenal, terus kalo ketemu orang lain terus lawan bicara ngomongin konten akun gosip, karna gue nggak ngerti jadinya berusaha cari obrolan lain dan ngobrolnya jadi jauh lebih menarik dan lebih bermanfaat. Jadi intiya sodara-sodara, we are what we consume. Sekecil apapun, usahakan jangan konsumsi racun untuk diri kita sendiri supaya nggak bunuh diri. Sekian dan terima kasih telah bersedia membaca tulisanku yang kemana-mana ini

Comments